Milli meter
Hujan itu cerita tentang mu. Tentang penantian yang tak pernah ada artinya dimata mu.
Kamis, 11 September 2014
Cerita untuk ayah.
Rabu, 10 September 2014
Cerita untuk ayah
Ayah, apa kabarmu? Ku harap baik selalu. Meski beberapa kali terdengar kabar buruk tentang kesehatanmu, tapi aku yakin ayah akan segera sembuh. Karena tuhan pasti akan menjagamu.
Ayah, tak perlu menelponku. Ingat saja aku dalam rindumu, semua akan baik kembali. Karna aku tahu, tak ada ucapan yang mampu ku utarakan padamu selain 'aku rindu'.
Tak akan ada yang berubah bila kita bercerita lebih dalam, hanya akan menggores luka baru. Untuk ku , ayah dan ibu.
Ayah, tak perlu khawatir. Tak pernah ada yang menggantikan posisimu di hatiku. Tak ada. Banyak pria yang mampu menjadi wali ku di pernikahanku kelak. Tapi berjanjilah, apapun yang terjadi kau akan hadir dan menjadi wali nikahku.
Ayah, aku telah tumbuh menjadi gadis yang luar biasa. Aku belajar lebih dewasa seperti katamu. bertanggung jawab atas kedua adikku. Menjaga diriku dari laki-laki yang tidak baik.
Ayah, banyak hal yang ingin ku ceritakan. Tapi tetap ku tahan dan simpan dalam hati, biarlah menjadi doa dalan setiap subuhku.
Ayah, i love you
Selasa, 01 April 2014
Lelaki bulan maret
Hei lelaki maret, bukankah ini bulan kelahiranmu? Jangan kira aku lupa, meski tak semua tentangmu ku ketahui, paling tidak aku tahu betul kamu lahir tanggal berapa.
Kamu masih ingat, pertemuan kita waktu itu. Saat kamu dan pacarku pulang ke kota ini? Lucunya kamu langsung menemuiku dan pacarku malah tak mengabari sama sekali. Hanya angin yang tahu cerita itu, itu rahasia ku dengannya tapi untukmu ku katakan malam ini.
Aku kangen kamu yang pernah menjadi tempatku menangis, meski kamu sendiri tak pernah melihat air mata itu. Tapi saat itu, saat dimana aku merasa sendiri dan kamu datang tiba-tiba bak ksatria.
Yang ku rindui saat kamu bilang menjadi pacarmu lebih menyenangkan dari pada aku selalu menunggu orang yang tidak memperdulikanku.
Iya kamu benar, tak lama kemudian dia pergi. Dan kamu, kamu masih disini.
Masih di bulan Maret.
Aku suka sekali bulan ini, karna aku punya alasan untuk menyapamu lagi.
Maret, oh maret. Seandainya bulan Maret bisa lebih lama di banding bulan lainnya.
Nama kamu masa lalu
Memang ku akui, pernah diam diam aku jatuh hati pada mu, pada lengkungan di pipimu dan sampai hari ini aku masih merindukan lengkungan itu.
Teman, rasanya agak aneh saatku sapa kamu dengan hay teman karna kita memang bukan seperti teman. Mungkin kamu sendiri juga akan merasa lucu mendengar itu.
Kasihku, bisakah aku sapa kamu dengan begini? Perasaanku sangat lega jika kamu juga menyapa ku begitu. Kekasih, kamu masih ingat setahun lalu aku selalu menyebutmu seperti hujan hingga saat ini pun masih sama, kamu masih seperti hujan. Dengan sikap dingin kamu sering menyapaku diam-diam.
Mungkin hanya disini aku berani menuangkan kata demi kata yang mungkin lebih baik jika kamu dengar, bukan untuk merubah keadaan tapi biar kamu tahu aku masih bingung menamaimu apa. Aku ingin kamu tahu bukan untuk kamu mengerti.
Jika kamu bilang aku tidak bisa move on dari mu, aku tak bisa menjawabnya. Tak lagi terpikir untuk berhubungan lebih dari teman, aku menulis ini hanya ingin membuatmu …
Hei kamu, lelaki bulan maret.
Ketika gerimis, sering kali aku mengirimkan surat rindu melalui angin kepada hujan agar jatuh tepat membasahi tubuhmu.
Tahukah kamu, semalam ku katakan pada adikku hari ini akan hujan dan benar saja, sore ini hujan turun. Membasahi tanah dan mengurangi kabut di kotaku. Bagaimana di kotamu? Apa disana hujan?
Ah, ingin sekali ku ulang saat kita berteduh dibawah pohon, kamu kebasahan, aku juga. Sebenarnya aku takut kamu kehujanan, aku takut kalau malariamu bertamu.
Lelaki enam belas maret, ketika aku tak mampu langsung ucapkan selamat ulang tahun maka tulisan ini akan menjadi penyambung lidah.
Saat kamu pinta kado, kurasa kamu lebih butuh doa karna saat ini kamu sudah punya segalanya. Bahkan kamu punya pekerjaan yang menyenangkan, bertemu dengan orang-orang yang luar biasa dan aku, aku hanya seseorang dari masa lalu mu.
Sayangku, sayang sekali kata ini hanya sampai di ujung penaku. Sayang, aku teringat beberapa tahun lalu saat aku menemanimu merayakan hari kelahiranmu, tak banyak yang bisa kulakukan tapi ketahuilah mungkin aku tak akan pernah lupa pertemuan-pertemuan kita.
Semua begitu jelas di ingatanku.
Pandan, 16 Maret 2014
*Tulisan ini untuk lelaki bulan maret.
Katanya Rumah
Satunya lagi bilang ayah adalah laki-laki dengan sejuta peraturan dan paling berhak mengatur ‘rumah’.
Hal ini juga pernah ku pertanyakan pada guru mengajiku, katanya Ibu adalah wakil tuhan di dunia.
Lalu ku simpulkan ayah sebagai bendahara. Pantas saja, pria wajib mencari nafkah.
RUMAH (dulu) menjadi tempat ter(nyaman)rumit untuk dimengerti. Kadang ayah yang suaranya paling besar, dengan tangan super besi dia menghancurkan setiap benda yang dekat dengannya. Mungkin juga karna merasa benda itu dibeli dari hasil kerjanya.
Dan penantang kita yang sudah duduk manis dari dapur menyahutnya dengan pekikan luar biasa. Sial!
Aku terjebak di ‘rumah’ ini.
Sudah ku bilang, sampai saat ini aku masih belum mengerti mengapa rumah yang ini sangat sulit untuk ku pahami.
Sering aku bertamu ke rumah teman-temanku, melihat wanita separuh baya sedang menggendong bayinya, lalu ayah di sudut sana menyapu ruangan.
Aneh, kenapa pria tangan besi bisa memegang sapu?
Ada yang salah di ‘rumah’ ini.
Atau mungkin setiap rumah di desain untuk memiliki kerumitan tersendiri? Entahlah.
Bermimpi tentangmu
Kau tidak banyak berubah, masih percaya hujan punya nyawa
Masih suka bercerita tentang dirimu. Yang cemburunya masih suka menyala.
Tatapanmu masih ada cinta. Bahu mu masih hangat seperti dulu, disitu biasanya aku suka dipeluk karena aku percaya pelukanmu selalu menyembuhkanku. Bahkan luka selama bertahun-tahun pun pulih. Kau akan memeluku lama, mengelus-elus punggungku.
Dan aku selalu suka, kau oun melakukan hal yang sama dalam mimpiku.
"Aku kangen" ucapku.
Kau tidak membalas ucapanku tapi aku bisa melihat senyum khas di wajahmu. Ku pejamkan mataku, mendengarkan bunyi detak jantungmu dan jantungku menyatu.
Desahan nafas naik turun milik kuta berdua membumbung pelan di udara. Terasa sesak. Apakah karena ruangan yang sempit atau karena hati kita sama-sama penuh.
Sementara diluar hujan. Kau percaya hujan punya nyawa bahkan bisa bicara.
Waktu itu kau pernah iseng berkata ” Bersama mu selalu hujan.”
Hanya itu yang terdengar disela-sela pelukan.
Aku melihat wajah bingungmu tapi itulah dirimu, manusia yang penuh dengan keindahan. Termasuk pemikiran-pemikiran abstrak yang selalu bikin aku jatuh cinta.
Masih hanyut dalam pelukan. Kali ini ada sesuatu yang basah, hangat menyeluruh jatuh ke bahu. Mungkin itu air mata. Air mata siapa? Aku tak tahu. Demi tuhan! Kalau itu adalah air mataku, aku hendak mengutuk diriku sendiri dalam hati. Aku sudah berjanji tidak akan menangis, apalagi di depan matamu karena aku punya gengsi. Aku punya harga diri.
Tapi bahkan aku sendiri tidak berani membuka mata ku. Aku takut melihat air mataku sendiri. Kau mengerti perasaanku, sesaat pelukanmu bertambah erat. Aku mulai gemetar. Tubuhku terguncang perlahan.
Mungkin karena air mata yang keluar semakin banyak. Di luar hujan berbunyi, aku hendak lari kehujan saja supaya kau tidak melihat mataku yang basah, pikirku.
Tidak bisa ! Pelukan mu masih erat. Aku masih ingin hanyut.
Ku coba berkata-kata sayangnya tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirku. Aku mencoba membuka mulutku tapi tak bisa. Seperti ada gembok besar. Terkunci. Dalam keadaan seperti ini aku ingin menciummu. Mungkin ini satu-aatunya jalan pikiranku. Aku menarik tubuhku pelan dari pelukanmu, pelan sekali. Tak ingin jauh dari hangat tubuh dan nafasmu yang masih naik turun.